UNIEX DI ALIHKAN

PBNU: Pemerintah Jangan Terjebak Pembangunan Model Orba


Jakarta, NU Online 

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Prof. K.H Maksum Mahfudz mengingatkan pemerintah untuk tidak arogan dan bertindak otoriter dalam memaksakan pembangunan di daerah, termasuk soal rencana pembangunan Cilamaya, Karawang. 


“Pembangunan apa pun jangan sampai mengorbankan masyarakat. Sebab hakikat pembangunan haruslah memperhatikan kemaslahatan bagi masyarakat dan melindungi masyarakat dari kedzaliman,” tandas Maksum, seraya memaparkan prinsip kepemimpinan dalam Islam, yakni tasharruful imam, manutun bil maslahah (Kinerja pemimpin harus merujuk pada kemaslahatan umat).




“Hadist Nabi juga mengatakan, Pemimpin atau pemerintah adalah wakil Tuhan yang bertugas memayungi kaum yang terdzalimi. Jadi  pemerintah jangan bertindak dzalim dan mengabaikan suara rakyat. Pembangunan jangan malah mengganggu penghidupan rakyat,” tandasnya.


Ia mengingatkan, Pemerintah Jokowi agar tidak terjebak pada paradigm pembangunan ala Orde Baru, yang mengabaikan kepentingan masyarakat kecil demi member keuntungan bagi pemodal. 


Ia mencontohkan kasus Kedung Ombo dan Freeport yang samapi sekarang belum jelas manfaatnya untuk masyarakat lokal setempat. “Esensi Amdal, biasanya analisis dampak lingkungan, kelayakan sosialnya dianggap remeh. Padahal seharusnya, kelayakan sosial ini diprioritaskan. Pemerintah sering mengabaikan realitas, penolakan yang terjadi karena beragam hal. Ingatlah kasus Kedungombo yang melahirkan konflik bertahun-tahun. Juga banyak kasus lain yang terjadi akibat mengabaikan suara rakyat,” paparnya.


PBNU, kata Mahfudz juga tidak akan tinggal diam, jika masyarakat nelayan dan petani di Karawang terdzolimi akibat pembangunan Pelabuhan Cilamaya. “Nelayan dan petani itu teman-teman kita. Mayoritas dari petani dan nelayan itu Nahdliyin. Jadi kami berharap Pemerintah jangan meremehkan aspirasi masyarakat kecil ini. Jangan sampai terlalu optimistis dengan mengabaikan kepentingan masyarakat lokal, ini masyarakat kecil sudah bertahun-tahun terdzolimi. Kabinet Kerja ini jangan smapai seperti Orde Baru,” tandasnya. 


Sementara anggota DPR RI Khotibul Umam Wiranu meminta Kementerian Perhubungan (Kemenhub) realistis dalam merencanakan pembangunan pelabuhan internasional di Cilamaya. 


"Terlepas soal teknis MoU dengan Jepang, Menhub harus realistis dari kajian ekonomi maupun dampak serta kerugian yang ditimbulkan dari pembangunan ini," paparnya menanggapi obsesi Menhub Ignatius Jonan untuk mewujudkan pembangunan pelabuhan di Cilamaya. 


Di samping itu, dalam memilih lokasi pembangunan pelabuhan, Kemenhub menurut Umam harus menanggalkan ego sektoralnya. "Kajian dari seluruh departemen kemaritiman serta Angkatan Laut, khususnya kajian Alur Laut Kemaritiman Indonesia (ALKI) harus diperhatikan," tandasnya. 


ALKI menurut Umam sudah punya kajian kemaritiman termasuk tempat yang layak untuk pelabuhan internasional. "Pembangunan itu penting, tapi perlu diminimalisir dampaknya. Memang perlu investor dari luar, sejauh tidak merugikan, pembangunan kemaritiman itu perlu," tambahnya.


Sementara Pakar Pangan yang juga tokoh Katolik Karawang, Y Susanto menyesalkan kebijakan Pemkab Karawang yang menurutnya tidak memiliki grand design pembangunan. Sehingga saat ini masyarakat Karawang banyak mengalami shock culture akibat industrialisasi yang massif tanpa mampu memproteksi masyarakatnya yang berkultur agraris dan nelayan. 


“Proteksi terhadap lahan pertanian di karawang sangat lemah. Intervensi industry manufaktur sangat tinggi terhadap kebijakan pemerintah. Sementara masyarakatnya tidak dipersiapkan dari segi pendidikan maupun keterampilan kerja,” tandasnya.


Rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya, menurut Susanto akan semakin memarginalkan masyarakat petani dan pesisir di Karawang. “Saya melihat Pemerintah gak punya grand desain  pembangunan.  Alih fungsi lahan pertanian yang massif di Karawang, telah menghabiskan ribuan hektar lahan pertanian. Penyusutan lahan dari 94 ribu hektar menjadi 92 ribu hektar dalam ima tahun terakhir, membawa banyak bencana. Dari banjir sampai lemahnya ketahanan pangan,” ujarnya.


Meski secara pendapatan sebagian masyarakat karawang tidak mengalami ganguan yang signifikan, karena para buruh tani kemudian beralih menjadi buruh pabrik, namun hal itu hanya terjadi pada sebagian masyarakat yang memang mendapat pendidikan selaras dengan kualifikasi industri. 


“Tapi shock culture telah menggejala secara massif karena perpindahan dari masyarakat agraris menuju masyarkat industri. Saat ini masyarakat lokal Karawang sudah terpinggirkan. Apalagi jika menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 mendatang, di mana persaingan semakin ketat karena datangnya pekerja dari berbagai Negara,” imbuhnya.


Ia berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan yang pro rakyat dan tidak hanya melihat keuntungan sesaat. Sebab jika tidak dilakukan kajian mendalam, pembangunan pelabuhan Cilamaya bisa melahirkan konflik sosial yang krusial. (Abdul Malik/Abdullah Alawi)